Senin, 13 Maret 2017

FENOMENA AKSES PEMILU BAGI PENYANDANG DISABILITAS



Fenomena Akses Pemilu Bagi Penyandang Disabilitas
(Implementasi Kebijakan dan Proses)
Oleh: Marwan 



Pemilu di Indonesia selama ini belum sepenuhnya menyentuh para penyandang cacat, sekalipun bahwa hukum konstitusi kita menjelaskan setiap warga Negara Indonesia ikut serta mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, kalimat tersebut bermakna warga Negara baik penyandang cacat maupun tidak berhak memperoleh pelayanan untuk menentukan pilihan dalam berdemokrasi di pemilihan umum, akses pemilu sudah di jalankan oleh KPU namun angka partisipasi pemilih disabilitas selalu saja minim dalam pencapaiannya yaitu angka partisipasi kasar (APK dibawah 10% dari total jumlah pemilih yang memperoleh kartu panggilan ke TPS atau jumlah DPT disabilitas diseluruh daerah), minimnya tingkat partisipasi ini dipengaruhi oleh faktor internal pemilih dan external yakni secara kedalam disabilitas beranggapan mereka merasa kurang percaya diri untuk menyalurkan hak politiknya, sisi external faktor lingkungan dan minimnya petugas kpps dalam memberi pelayanan pemilih bagi penyandang disabilitas saat sosialisasi dan pemungutan suara di TPS, sehingga implementasi kebijakan dimulai dari undang-undang, kesiapan tehnis kpu pusat dan daerah, jumlah petugas khusus disabilitas yang disandingkan dengan anggota kpps unsur pemilih normal dan pemilih disabilitas dari berbagai tingkat penanganan disabilitas baik segi bahasa isyarat, alat yang dipergunakan pemilih misalnya kartu suara drailer, system penanganan medis para autis, disabilitas sehingga implementasi kebijakan dan prosesnya berjalan seimbang pada tahap pelaksanaan pemungutan suara diseluruh TPS, permasalahan lain bisa saja muncul adalah kesiapan petugas kpps ditingkat desa/kelurahan dan rt/rw untuk lebih pro aktif menjemput bola pada kantong-kantong suara disabilitas serta kemauan kelompok penyelenggara pemilu memberi layanan khusus dengan mendatangi pemilih disabilitas dirumah-rumah mereka dan berupaya bekerjasama dengan rt/rw setempat, dilihat dari segi data penduduk tahun 2010, dari 237 juta jiwa penduduk   jumlah penyandang disabilitas yaitu 9.046.000 jiwa penyandang cacat atau 4,74%, dilihat penyandang disabilitas (cacat) data 2012, 9 provinsi di Indonesia memiliki angka tertinggi penyandang cacat yaitu, NTT, 31.327 jiwa sekitar 10%, Jawa Barat tahun 2007 50, 9%, provinsi DKI Jakarta, provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan terendah di provinsi Gorontalo sekitar 1,65%, apabila dipilih berdasarkan umur maka usia 18-60 tahun menempati posisi tertinggi, dengan rincian cacat kaki 21, 86%,  cacat mental 15,41%, cacat bicara 13,08%, data 2016 sekitar 20 juta lebih penyandang disabilitas. Hak memilih dalam pemilu secara nasional sekitar 5-10% yang dapat memilih yakni kisaran 1-2 juta orang disabilitas, kendala tehnis yang dihadapi ialah para penyandang disabilitas tersebut tak hadir memilih di TPS yang telah disiapkan oleh penyelenggara pemungutan suara, feneomena ini terjadi di Kendari saat pilwali 15 februari 2015 lalu, kondisi ini juga terjadi sama di daerah lain saat pilkada. Pemerintah melalui UU Nomor 6 tahun 1974 yang digantikan dengan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang penyelenggaraan kesejahtraan sosial, konstitusi ini pemerintah pusat hingga daerah serius  menangani munculnya penyandang cacat bukan hanya kemiskinan dan bencana saja, masalah dasar hukum warga Negara penyandang cacat belum ada dasar hukumnya, walaupun  pasal 57 ayat 3 huruf e UU No. 8 tahun 2015 tentang pengesahan PP pengganti undang-undang  No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada). Pada 17 maret 2016, telah disepakati oleh DPR tentang penyandang disabilitas yang mana hak memilih warga cacat yang terganggu jiwanya atau sedang terganggu tidak dapat memilih alias hak pilih mereka selama ini tak tersalurkan dalam pemilu, pasal 4 ayat 1 RUU pemilu yang baru  telah dibahas oleh DPR pada maret 2016 agar penyandang cacat dapat ikut dalam pemilu tahun 2019 tetapi belum disyahkan oleh pemerintah, kpu pusat telah berupaya memberi ruang agar disabilitas dapat mengikuti pemilu dengan menyiapkan huruf drailer bagi tuna daksa, namun faktanya hanya sedikit disabilitas yang menyalurkan suaranya, lantas jalan tempuh apa yang dapat memaksimalkan disabilitas dapat menyalurkan suaranya dalam konteks demokrasi, maka format tehnisnya mesti diubah pada tahap sosialisasi dan implementasi tingkat tps yaitu dengan sikap penyelenggara pemilu mendatang tempat tinggal para disabilitas secara door to door atau mewakilkan disabilitas kepada keluarganya untuk memilih, dapat pula kita tempuh mendata jumlah disabilitas dalam satu wilayah tertentu dimana ketua disabilitas pada wilayah itu diberi wewenang untuk melakukan pencoblosan yaitu mengambil sidik jari pemilih disabilitas atau diwakilkan setelah sebelumnya di konfirmasi bahwa pada hari itu ada pencoblosan pemilu, aplikasi pemilu system e-voting juga dapat dilakukan oleh disabilitas, dimana ruang waktu mereka diberikan lebih leluasa agar layanan pemilu dapat maksimal, dalam materi rancangan UU pemilu tersebut, mengklasifikasi baru ragam penyandang disabilitas meliputi:a. Penyandang disabilitas fisik b. Penyandang disabilitas intelektual c. Penyandang disabilitas mental atau d. Penyandang disabilitas sensorik.
           Dalam hal disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir kecerdasan dibawah rata-rata antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome, disabilitas mental ialah tergaggunya fungsi  pikir, emosi dan perilaku meliputi: psikososia diantaranya, bipolar, depresi, anxietas dan gangguan kepribadian, disabilitas perkembangan berpengaruh pada kemampuan intraksi sosial seperti autis dan hyperaktif. Hak disabilitas bukan legal policy melainkan hak konstitusional, sesuai kebijakan hukum UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yaitu segala warga Negara bersamaan kedududukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.pada bagian ini penulis mengutip pendapat mahkamah konstitusi bahwa terkait dengan pilkada pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti Negara tidak boleh mengatur dan mengatur syarat-syaratnya, sepanjang syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktifitas pemerintahan yang bersangkutan tidak mengandung unsur diskriminasi, pertanyaaan nya dimana batas kebijakan hukum terbuka dalam menerapkan hak azasi manusia? Maka diduga argument pihak pemerintah pembentuk undang-undang bahwa 1. Jabatan atau aktifitas yang berwenang dan 2), ketidakbolehan bagi orang yang sedang atau tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya untuk didaftar sebagai pemilih adalah syarat belaka, sehingga bisa dikategorikan sebagai kebijakan hukum terbuka, dalam pilkada penyandang disabilitas intelektual dan mental akan kehilangan hak politiknya. Istilah kata cacat digunakan sejak tahun 2006, pembuat undang-undang belum memahami keberadaan hak penyandang disabilitas, sehingga istilah disabilitas berasal dari kata disability saat ini lazim digunakan untuk mengganti kata cacat yang berkonotasi negative, digunakan misalnya cacat hukum, sesuatu yang rusak atau tidak normal, sehingga istilah kata cacat diganti dengan kata disabilitas agar konotasinya diterjemahkan positif oleh masyarakat atau pihak pemerintah, sebagai permasalahan dalam perspektif pemilu bagi penyandang disabilitas adalah cukup berarti untuk diberi akses atau layanan.penulis memberi batasan masalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk solusi akses pemilu bagi penyandang cacat pada pemilu 2019 Seperti yang kita ketahui selama ini para penyandang disabilitas belum diberi ruang oleh pemerintah atau KPU dalam pendataan pemilu sejak pemilu pertama hingga pemilu 2014 yang lalu, kondisi ini terjadi akibat dari regulasi atau peraturan tentang dibolehkannya penyandang disabilitas untuk mengikuti pemilu, hak memilih sebagai warga Negara Indonesia kedepan perlu menjadi bahan pertimbangan agar para penyandang disabilitas yang jumlahnya 9 juta lebih jiwa dapat diatur dan diberi ruang dalam pemilu 2019, tentu tidak mudah bagi penyelenggara pemilu untuk mencari format bentuk kertas suara atau pendataan pemilih disemua wilayah provinsi di Indonesia, tetapi terkait dengan UU disabilitas yang telah dibahas oleh DPR pada maret 2016 lalu ada indikasi rancangan UU tersebut dapat diwujudkan atau disyahkan oleh pemerintah tahun 2017 ini, apa lagi jika sudah diamini oleh Mahkamah Konstitusi RI, maka jelas penyandang disabilitas dapat ikut serta memilih dalam pemilu pilkada 2018 dan pemilu 2019, kita juga paham bahwa penyandang disabilitas sebagian dari mereka mampu berprestasi dalam dunia pendidikan, olahraga bahkan bidang tekhnologi, music dsb, kelompok disabilitas ini tergolong orang yang dikategorikan hanya cacat secara fisik saja, tetapi tingkat kecerdasannya menyamai orang yang fisiknya normal, prestasi yang mereka capai memang terbatas pada komunitas antar penyandang disabilitas saja, tetapi wajar diberi apresiasi oleh pemerintah dan publik, terkait solusi akses pemilu ini menurut hemat penulis yang pertama adalah kesiapan regulasi dan pihak KPU sendiri dalam aspek pelaksanaan pendataan wajib pilih umur 17 tahun keatas, membagi kategori disabilitas cacat sejak lahir dengan symbol huruf A kategori cacat secara intelektual, B kategori cacat mental fisik, C kategori cacat karena kecelakaan dan D cacat tuna daksa, tuna rungu, tuna wicara, pada kategori  C. bentuk akses pemilu maka bentuk kertas suaranya yang dicetak tersendiri sama dengan pemilih yang normal, B cacat mental dan fisiknya diterapkan dengan cara mendata format sendiri model kartu suaranya disesuaikan dengan kondisi pemilih, sehingga hal ini mesti ada uji coba pemilu bagi semua kategori disabilitas baik bentuk kartu suara dan model pendataan serta alat coblos yang wajar dapat digunakan oleh disabilitas sesuai tingkat ketidaknormalan para disabilitas, khusus pada tuna rungu berarti pendengarannya yang terganggu maka model mencoblos kartu suaranya adalah sama pemilih normal pertanyaannya jika tak dapat mendengar sekaligus tak memiliki tangan dan kaki pada sisi kanan atau kiri maka semua penyandang ini disesuaikan dengan sisi bagaimana agar mereka syah mencoblos melalui TPS tersendiri pada lingkungannya, pihak KPPS dan pihak KPU yang mendatangi ketempat penyandang disabilitas, bukan penyandang disabilitas yang mendatangi TPS, kondisi tidak memiliki kanan atau kiri atau tangan puntung, tak memiliki kaki kanan dan kiri, maka solusinya ialah kpps sebagai penyelenggara pemilu tingkat kecamatan dan desa hingga tingkat RT/RW, mendatangi pemilih dengan ruang waktu 1 minggu hingga satu bulan sebelum tiba pemilu secara nasional tiba diseluruh tps di Indonesia dengan pertimbangan bahwa jarak atau pengelolaan dan sosialisasi serta waktu mencoblos kartu suara membutuhkan porsi waktu yang cukup, solusi berikutnya bagi penyandang cacat yang bersekolah di tingkat SLB menengah atas kpps dapat bekerjasama dengan kepala sekolah dan guru SLB setempat dalam pelaksanaan pemilu yang telah direncanakan, tuna daksa tak dapat melihat systemnya adalah kartu suara menggunakan huruf timbul atau dapat diwakilkan oleh pemilih normal melalui intraksi antara orang yang paham terhadap perkataan yang dimaksud oleh seorang disabilitas, tentang pilihan gambar atau foto sebelumnya disampaikan kepada penyandang disabilitas, agar mereka paham siapa yang menurut mereka pilih, system noken dapat pula diterapkan kepada penyandang disabilitas, kita ketahui system ini dilakukan di Provinsi Irian Jaya pada sebagian suku yang berdiam disana, dimana kepala sukunya yang mencoblos kartu suara, maka bentuk solusi pemilu bagi penyandang cacat dapat didiskusikan dan dikaji lebih lanjut oleh pakar bersama KPU pusat dan Daerah pada tahap bentuk system pemilu yang tepat diterapkan pada tahun 2019. Agar saudara kita sebagai warga Negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam pemilu tanpa ada perbedaan dengan pemilih normal yang setiap 5 tahun selalu ada hak memilih. Akses Pemilu Bagi Penyandang Disabilitas Dalam bagian tersebut diatas telah dijelaskan bahwa penyandang disabiitas dapat memilih pada tahun  2019 nanti, namun bentuk atau cara pelaksanaannya masih perlu diatur lagi oleh pihak DPR RI komisi III, bersama KPU Pusat secara tehnis dapat mengatur implementasi system pemilu bagi penyandang disabilitas dan Daerah dengan peraturan pemerintah serta meminta pendapat Mahkamah Konstitusi RI tentang persetujuan atau judicial review UU yang baru tentang pemilu agar penyandang disabilitas dalam konsep syarat dan ketentuannya dapat diterjemahkan terbuka bagi semua warga Negara tanpa diskriminasi khusus pada tatanan berhak memilih namun syarat berbeda jika dapat dipilih menjadi anggota DPR RI, DPRD, Pejabat daerah aparatur sipil Negara dsb, maka acuan peraturannya tak boleh sama dalam system pemilu bagi penyandang disabilitas berat secara fisik atau ringan atau autis, disabilitas keterbatasan intelektual dan mental bahkan fisiknya dalam hak untuk memilih saja, maka dapat diberi akses atau layanan khusus bagi disabilitas baik khusus dalam kajian aturannya, khusus dalam bentuk tehnis pelaksanaannya maupun bentuk alat yang digunakan oleh disabilitas dalam menentukan pilihan dalam pemilihan umum, maka akses pemilu bagi penyandang disabilitas merupakan kesepahaman pemerintah dan kebijakan UU serta political wil suatu Negara tentang kesamaan kedudukan hukum segala warga Negar yang secara terbuka memberi kepastian hukum bagi penyandang disabilitas di Indonesia, penyandang disabilitas berjumlah 9,046.000 jelas telah bertambah jumlahnya tahun 2017 mencapai sekitar 20 juta lebih orang disabiitas,  sebagian dari jumlah tersebut tidak dapat memilih sebab belum terdapftar dalam daftar pemilih tetap, dan tidak hadir memilih di tempat pemungutan suara yang telah disiapkan oleh pihak kpps tingkat desa/kelurahan, rt/rw seluruh Indonesia, kehilangan hak memilih mereka merupakan bentuk pelanggaran hak asazi manusia apabila kita kaitkan dengan hukum terbuka sesuai pasal 27 UUD 1945 ayat 1, kostelasi ini seharusnya dapat dipikirkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah untuk mengesahkan UU pemilu bagi penyandang disabilitas bukan sebaliknya menganggap bahwa penyandang disabilitas tak wajar secara politik untuk memilih sebab mereka adalah kelompok terbelakang tak memiliki pemahaman sama sekali tentang program pemerintah dalam ruang demokrasi, kebijakan pemerintah serta ketidakmampuan seorang disabilitas memberi kontribusi secara mikro ekonomi, kepartaian dan kemajuan Negara, sehingga apabila pemahaman ini kita tempatkan pada porsi hak semua warga Negara untuk berpolitik dalam pemilu maka pandangan diatas dapat kita abaikan, dan kembali menelaah ulang hak warga Negara dalam pemilu memiliki kedudukan yang sama, sebab  UUD 1945 tak pernah menyebutkan ada kata cacat atau disabilitas tak wajar ikut dalam pemilu, demikian kajian yang dapat ditulis oleh penulis.
            Sebagai kesimpulan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut 1. Penyandang disabilitas secara warga Negara dan hukum konstitusi RI, syah untuk diberi ruang dalam pemilu sebab UU 1945 pasal 27 ayat 1 jelas menjelaskan bahwa segala warga Negara memiliki kesamaan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali, sehingga implementasi pemilih disabilitas memerlukan kajian tehnis yang komperhensif agar akses pemilu 2019 dapat diterapkan.
2. Pemilu merupakan bentuk demokrasi yang kita anut selama ini, perlu mempertimbangkan konsep warga Negara Indonesia khususnya penyandang disabilitas dapat memperoleh hak memilih melalui format pendataan serta bentuk implementasinya membutuhkan tenaga dan kerjasama oleh berbagai pihak, sesuai kondisi fisik dan mental mereka, dalam sejarah presiden Indonesia KH. Abdurahman Wahid adalah salah satu potret cacat fisik dan penglihatan terganggu dapat disetujui oleh forum DPR RI saat itu sepakat memilihnya menjadi seorang presiden RI yang ke empat, sehingga argument pembahasan tentang pemilu bagi penyandang disabilitas sangat mungkin dapat dilaksanakan, jika ada political wil dari pemerintah dan pihak anggota legislative dan persetujuan lembaga Negara yang terkait dalam draf akses pemilu bagi penyandang disabilitas,
3. Pemilu bagi penyandang disabilitas adalah langkah maju bagi Indonesia dalamBerdemokrasi dengan menghilangkan sekat diskriminasi, bahwa hak azasi manusia didunia ini perlu diberi jalan, sebab mereka tidak menginginkan lahir dalam keadaan cacat atau kurang sempurna secara fisik,dan mental, selama ini perlakuan tidak wajar masih sering terjadi pada penyandang disabilitas baik oleh keluarganya maupun pandangan miring masyarakat terhadap disabilitas, sehingga sebenarnya tak ada yang perlu kita salahkan, dari sisi Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah Swt, jelas keberadaan mereka didunia ini merupakan ketetapan Tuhan dan Allah Swt , Saran penulis dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:: 1. Bagi pihak pemerintah rancangan UU tentang akses pemilu bagi disabilitas yang telah dibahas  oleh DPR RI komisi III, agar supaya segera mengesahkan UU tersebut, selanjutnya oleh pihak pemerintah dalam aspek pelaksanaan melalui peraturan pemerintah agar tahun 2019, UU tersebut telah efektif dilaksanakan oleh KPU pusat dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.2. Bagi pihak DPR RI Komisi III supaya dapat berkonsultasi dengan pemerintah (Presiden RI) tentang pengesahan UU penyandang disabilitas yang telah diajukan oleh pihak DPR RI komisi III. 3. Bagi Mahkamah Konstitusi RI, dapat meninjau kembali hal-hal yang dianggap perlu diperbaiki atau pasal pemilu bagi penyandang disabilitas tersebut, dan public dapat memberi dukungan positif tentang implementasi revisi UU atau peraturan pemerintah, kementrian sosial RI dapat memberi kontribusi terhadap bantuan dari segi matrial maupun in matrial terkait pemilu bagi penyandang disabilitas.
Kendari,  Maret 2017
Penulis
Marwan
Catatan: Tulisan tersebut diatas oleh Tim redaksi dapat sortir, mengurangi konten tulisan jika terlalu panjang (tak termuat dalam ruang opini) HP. Penulis: 0852 3877 7390