Fenomena Akses Pemilu Bagi Penyandang Disabilitas
(Implementasi Kebijakan dan Proses)
Oleh: Marwan
Pemilu
di Indonesia selama ini belum sepenuhnya menyentuh para penyandang cacat,
sekalipun bahwa hukum konstitusi kita menjelaskan setiap warga Negara Indonesia
ikut serta mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, kalimat tersebut
bermakna warga Negara baik penyandang cacat maupun tidak berhak memperoleh
pelayanan untuk menentukan pilihan dalam berdemokrasi di pemilihan umum, akses
pemilu sudah di jalankan oleh KPU namun angka partisipasi pemilih disabilitas
selalu saja minim dalam pencapaiannya yaitu angka partisipasi kasar (APK
dibawah 10% dari total jumlah pemilih yang memperoleh kartu panggilan ke TPS
atau jumlah DPT disabilitas diseluruh daerah), minimnya tingkat partisipasi ini
dipengaruhi oleh faktor internal pemilih dan external yakni secara kedalam
disabilitas beranggapan mereka merasa kurang percaya diri untuk menyalurkan hak
politiknya, sisi external faktor lingkungan dan minimnya petugas kpps dalam
memberi pelayanan pemilih bagi penyandang disabilitas saat sosialisasi dan
pemungutan suara di TPS, sehingga implementasi kebijakan dimulai dari
undang-undang, kesiapan tehnis kpu pusat dan daerah, jumlah petugas khusus
disabilitas yang disandingkan dengan anggota kpps unsur pemilih normal dan
pemilih disabilitas dari berbagai tingkat penanganan disabilitas baik segi
bahasa isyarat, alat yang dipergunakan pemilih misalnya kartu suara drailer,
system penanganan medis para autis, disabilitas sehingga implementasi kebijakan
dan prosesnya berjalan seimbang pada tahap pelaksanaan pemungutan suara
diseluruh TPS, permasalahan lain bisa saja muncul adalah kesiapan petugas kpps
ditingkat desa/kelurahan dan rt/rw untuk lebih pro aktif menjemput bola pada
kantong-kantong suara disabilitas serta kemauan kelompok penyelenggara pemilu
memberi layanan khusus dengan mendatangi pemilih disabilitas dirumah-rumah
mereka dan berupaya bekerjasama dengan rt/rw setempat, dilihat dari segi data
penduduk tahun 2010, dari 237 juta jiwa penduduk jumlah penyandang disabilitas yaitu
9.046.000 jiwa penyandang cacat atau 4,74%, dilihat penyandang disabilitas
(cacat) data 2012, 9 provinsi di Indonesia memiliki angka tertinggi penyandang
cacat yaitu, NTT, 31.327 jiwa sekitar 10%, Jawa Barat tahun 2007 50, 9%,
provinsi DKI Jakarta, provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan terendah di
provinsi Gorontalo sekitar 1,65%, apabila dipilih berdasarkan umur maka usia
18-60 tahun menempati posisi tertinggi, dengan rincian cacat kaki 21, 86%, cacat mental 15,41%, cacat bicara 13,08%,
data 2016 sekitar 20 juta lebih penyandang disabilitas. Hak memilih dalam
pemilu secara nasional sekitar 5-10% yang dapat memilih yakni kisaran 1-2 juta
orang disabilitas, kendala tehnis yang dihadapi ialah para penyandang
disabilitas tersebut tak hadir memilih di TPS yang telah disiapkan oleh
penyelenggara pemungutan suara, feneomena ini terjadi di Kendari saat pilwali
15 februari 2015 lalu, kondisi ini juga terjadi sama di daerah lain saat
pilkada. Pemerintah melalui UU Nomor 6 tahun 1974 yang digantikan dengan UU
Nomor 11 tahun 2009 tentang penyelenggaraan kesejahtraan sosial, konstitusi ini
pemerintah pusat hingga daerah serius
menangani munculnya penyandang cacat bukan hanya kemiskinan dan bencana
saja, masalah dasar hukum warga Negara penyandang cacat belum ada dasar
hukumnya, walaupun pasal 57 ayat 3 huruf
e UU No. 8 tahun 2015 tentang pengesahan PP pengganti undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada). Pada 17 maret 2016, telah disepakati oleh
DPR tentang penyandang disabilitas yang mana hak memilih warga cacat yang
terganggu jiwanya atau sedang terganggu tidak dapat memilih alias hak pilih
mereka selama ini tak tersalurkan dalam pemilu, pasal 4 ayat 1 RUU pemilu yang
baru telah dibahas oleh DPR pada maret
2016 agar penyandang cacat dapat ikut dalam pemilu tahun 2019 tetapi belum
disyahkan oleh pemerintah, kpu pusat telah berupaya memberi ruang agar
disabilitas dapat mengikuti pemilu dengan menyiapkan huruf drailer bagi tuna
daksa, namun faktanya hanya sedikit disabilitas yang menyalurkan suaranya,
lantas jalan tempuh apa yang dapat memaksimalkan disabilitas dapat menyalurkan
suaranya dalam konteks demokrasi, maka format tehnisnya mesti diubah pada tahap
sosialisasi dan implementasi tingkat tps yaitu dengan sikap penyelenggara
pemilu mendatang tempat tinggal para disabilitas secara door to door atau
mewakilkan disabilitas kepada keluarganya untuk memilih, dapat pula kita tempuh
mendata jumlah disabilitas dalam satu wilayah tertentu dimana ketua disabilitas
pada wilayah itu diberi wewenang untuk melakukan pencoblosan yaitu mengambil
sidik jari pemilih disabilitas atau diwakilkan setelah sebelumnya di konfirmasi
bahwa pada hari itu ada pencoblosan pemilu, aplikasi pemilu system e-voting
juga dapat dilakukan oleh disabilitas, dimana ruang waktu mereka diberikan
lebih leluasa agar layanan pemilu dapat maksimal, dalam materi rancangan UU
pemilu tersebut, mengklasifikasi baru ragam penyandang disabilitas meliputi:a.
Penyandang disabilitas fisik b. Penyandang disabilitas intelektual c.
Penyandang disabilitas mental atau d. Penyandang disabilitas sensorik.
Dalam hal disabilitas intelektual
adalah terganggunya fungsi pikir kecerdasan dibawah rata-rata antara lain,
lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome, disabilitas mental ialah
tergaggunya fungsi pikir, emosi dan
perilaku meliputi: psikososia diantaranya, bipolar, depresi, anxietas dan
gangguan kepribadian, disabilitas perkembangan berpengaruh pada kemampuan
intraksi sosial seperti autis dan hyperaktif. Hak disabilitas bukan legal
policy melainkan hak konstitusional, sesuai kebijakan hukum UUD 1945 pasal 27
ayat 1 yaitu segala warga Negara bersamaan kedududukannya dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.pada bagian ini penulis mengutip pendapat mahkamah konstitusi bahwa
terkait dengan pilkada pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan bukan berarti Negara tidak boleh mengatur dan mengatur
syarat-syaratnya, sepanjang syarat demikian secara objektif memang merupakan
kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktifitas pemerintahan yang
bersangkutan tidak mengandung unsur diskriminasi, pertanyaaan nya dimana batas
kebijakan hukum terbuka dalam menerapkan hak azasi manusia? Maka diduga
argument pihak pemerintah pembentuk undang-undang bahwa 1. Jabatan atau
aktifitas yang berwenang dan 2), ketidakbolehan bagi orang yang sedang atau
tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya untuk didaftar sebagai pemilih adalah
syarat belaka, sehingga bisa dikategorikan sebagai kebijakan hukum terbuka,
dalam pilkada penyandang disabilitas intelektual dan mental akan kehilangan hak
politiknya. Istilah kata cacat digunakan sejak tahun 2006, pembuat
undang-undang belum memahami keberadaan hak penyandang disabilitas, sehingga
istilah disabilitas berasal dari kata disability saat ini lazim digunakan untuk
mengganti kata cacat yang berkonotasi negative, digunakan misalnya cacat hukum,
sesuatu yang rusak atau tidak normal, sehingga istilah kata cacat diganti
dengan kata disabilitas agar konotasinya diterjemahkan positif oleh masyarakat
atau pihak pemerintah, sebagai permasalahan dalam perspektif pemilu bagi
penyandang disabilitas adalah cukup berarti untuk diberi akses atau
layanan.penulis memberi batasan masalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk
solusi akses pemilu bagi penyandang cacat pada pemilu 2019 Seperti yang kita
ketahui selama ini para penyandang disabilitas belum diberi ruang oleh
pemerintah atau KPU dalam pendataan pemilu sejak pemilu pertama hingga pemilu
2014 yang lalu, kondisi ini terjadi akibat dari regulasi atau peraturan tentang
dibolehkannya penyandang disabilitas untuk mengikuti pemilu, hak memilih
sebagai warga Negara Indonesia kedepan perlu menjadi bahan pertimbangan agar
para penyandang disabilitas yang jumlahnya 9 juta lebih jiwa dapat diatur dan
diberi ruang dalam pemilu 2019, tentu tidak mudah bagi penyelenggara pemilu
untuk mencari format bentuk kertas suara atau pendataan pemilih disemua wilayah
provinsi di Indonesia, tetapi terkait dengan UU disabilitas yang telah dibahas
oleh DPR pada maret 2016 lalu ada indikasi rancangan UU tersebut dapat
diwujudkan atau disyahkan oleh pemerintah tahun 2017 ini, apa lagi jika sudah
diamini oleh Mahkamah Konstitusi RI, maka jelas penyandang disabilitas dapat
ikut serta memilih dalam pemilu pilkada 2018 dan pemilu 2019, kita juga paham
bahwa penyandang disabilitas sebagian dari mereka mampu berprestasi dalam dunia
pendidikan, olahraga bahkan bidang tekhnologi, music dsb, kelompok disabilitas
ini tergolong orang yang dikategorikan hanya cacat secara fisik saja, tetapi
tingkat kecerdasannya menyamai orang yang fisiknya normal, prestasi yang mereka
capai memang terbatas pada komunitas antar penyandang disabilitas saja, tetapi
wajar diberi apresiasi oleh pemerintah dan publik, terkait solusi akses pemilu
ini menurut hemat penulis yang pertama adalah kesiapan regulasi dan pihak KPU
sendiri dalam aspek pelaksanaan pendataan wajib pilih umur 17 tahun keatas,
membagi kategori disabilitas cacat sejak lahir dengan symbol huruf A kategori
cacat secara intelektual, B kategori cacat mental fisik, C kategori cacat
karena kecelakaan dan D cacat tuna daksa, tuna rungu, tuna wicara, pada kategori C. bentuk akses pemilu maka bentuk kertas
suaranya yang dicetak tersendiri sama dengan pemilih yang normal, B cacat
mental dan fisiknya diterapkan dengan cara mendata format sendiri model kartu
suaranya disesuaikan dengan kondisi pemilih, sehingga hal ini mesti ada uji
coba pemilu bagi semua kategori disabilitas baik bentuk kartu suara dan model
pendataan serta alat coblos yang wajar dapat digunakan oleh disabilitas sesuai
tingkat ketidaknormalan para disabilitas, khusus pada tuna rungu berarti pendengarannya
yang terganggu maka model mencoblos kartu suaranya adalah sama pemilih normal
pertanyaannya jika tak dapat mendengar sekaligus tak memiliki tangan dan kaki
pada sisi kanan atau kiri maka semua penyandang ini disesuaikan dengan sisi
bagaimana agar mereka syah mencoblos melalui TPS tersendiri pada lingkungannya,
pihak KPPS dan pihak KPU yang mendatangi ketempat penyandang disabilitas, bukan
penyandang disabilitas yang mendatangi TPS, kondisi tidak memiliki kanan atau
kiri atau tangan puntung, tak memiliki kaki kanan dan kiri, maka solusinya
ialah kpps sebagai penyelenggara pemilu tingkat kecamatan dan desa hingga
tingkat RT/RW, mendatangi pemilih dengan ruang waktu 1 minggu hingga satu bulan
sebelum tiba pemilu secara nasional tiba diseluruh tps di Indonesia dengan
pertimbangan bahwa jarak atau pengelolaan dan sosialisasi serta waktu mencoblos
kartu suara membutuhkan porsi waktu yang cukup, solusi berikutnya bagi
penyandang cacat yang bersekolah di tingkat SLB menengah atas kpps dapat
bekerjasama dengan kepala sekolah dan guru SLB setempat dalam pelaksanaan
pemilu yang telah direncanakan, tuna daksa tak dapat melihat systemnya adalah
kartu suara menggunakan huruf timbul atau dapat diwakilkan oleh pemilih normal
melalui intraksi antara orang yang paham terhadap perkataan yang dimaksud oleh
seorang disabilitas, tentang pilihan gambar atau foto sebelumnya disampaikan
kepada penyandang disabilitas, agar mereka paham siapa yang menurut mereka
pilih, system noken dapat pula diterapkan kepada penyandang disabilitas, kita
ketahui system ini dilakukan di Provinsi Irian Jaya pada sebagian suku yang
berdiam disana, dimana kepala sukunya yang mencoblos kartu suara, maka bentuk
solusi pemilu bagi penyandang cacat dapat didiskusikan dan dikaji lebih lanjut
oleh pakar bersama KPU pusat dan Daerah pada tahap bentuk system pemilu yang
tepat diterapkan pada tahun 2019. Agar saudara kita sebagai warga Negara
Indonesia dapat berpartisipasi dalam pemilu tanpa ada perbedaan dengan pemilih
normal yang setiap 5 tahun selalu ada hak memilih. Akses Pemilu Bagi Penyandang
Disabilitas Dalam bagian tersebut diatas telah dijelaskan bahwa penyandang
disabiitas dapat memilih pada tahun 2019
nanti, namun bentuk atau cara pelaksanaannya masih perlu diatur lagi oleh pihak
DPR RI komisi III, bersama KPU Pusat secara tehnis dapat mengatur implementasi
system pemilu bagi penyandang disabilitas dan Daerah dengan peraturan
pemerintah serta meminta pendapat Mahkamah Konstitusi RI tentang persetujuan
atau judicial review UU yang baru tentang pemilu agar penyandang disabilitas
dalam konsep syarat dan ketentuannya dapat diterjemahkan terbuka bagi semua
warga Negara tanpa diskriminasi khusus pada tatanan berhak memilih namun syarat
berbeda jika dapat dipilih menjadi anggota DPR RI, DPRD, Pejabat daerah aparatur
sipil Negara dsb, maka acuan peraturannya tak boleh sama dalam system pemilu
bagi penyandang disabilitas berat secara fisik atau ringan atau autis,
disabilitas keterbatasan intelektual dan mental bahkan fisiknya dalam hak untuk
memilih saja, maka dapat diberi akses atau layanan khusus bagi disabilitas baik
khusus dalam kajian aturannya, khusus dalam bentuk tehnis pelaksanaannya maupun
bentuk alat yang digunakan oleh disabilitas dalam menentukan pilihan dalam
pemilihan umum, maka akses pemilu bagi penyandang disabilitas merupakan
kesepahaman pemerintah dan kebijakan UU serta political wil suatu Negara
tentang kesamaan kedudukan hukum segala warga Negar yang secara terbuka memberi
kepastian hukum bagi penyandang disabilitas di Indonesia, penyandang disabilitas
berjumlah 9,046.000 jelas telah bertambah jumlahnya tahun 2017 mencapai sekitar
20 juta lebih orang disabiitas, sebagian
dari jumlah tersebut tidak dapat memilih sebab belum terdapftar dalam daftar
pemilih tetap, dan tidak hadir memilih di tempat pemungutan suara yang telah
disiapkan oleh pihak kpps tingkat desa/kelurahan, rt/rw seluruh Indonesia, kehilangan
hak memilih mereka merupakan bentuk pelanggaran hak asazi manusia apabila kita
kaitkan dengan hukum terbuka sesuai pasal 27 UUD 1945 ayat 1, kostelasi ini
seharusnya dapat dipikirkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah untuk
mengesahkan UU pemilu bagi penyandang disabilitas bukan sebaliknya menganggap
bahwa penyandang disabilitas tak wajar secara politik untuk memilih sebab
mereka adalah kelompok terbelakang tak memiliki pemahaman sama sekali tentang
program pemerintah dalam ruang demokrasi, kebijakan pemerintah serta
ketidakmampuan seorang disabilitas memberi kontribusi secara mikro ekonomi,
kepartaian dan kemajuan Negara, sehingga apabila pemahaman ini kita tempatkan
pada porsi hak semua warga Negara untuk berpolitik dalam pemilu maka pandangan
diatas dapat kita abaikan, dan kembali menelaah ulang hak warga Negara dalam
pemilu memiliki kedudukan yang sama, sebab
UUD 1945 tak pernah menyebutkan ada kata cacat atau disabilitas tak
wajar ikut dalam pemilu, demikian kajian yang dapat ditulis oleh penulis.
Sebagai kesimpulan
dalam tulisan ini adalah sebagai berikut 1. Penyandang disabilitas secara warga
Negara dan hukum konstitusi RI, syah untuk diberi ruang dalam pemilu sebab UU
1945 pasal 27 ayat 1 jelas menjelaskan bahwa segala warga Negara memiliki
kesamaan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali, sehingga implementasi pemilih
disabilitas memerlukan kajian tehnis yang komperhensif agar akses pemilu 2019
dapat diterapkan.
2. Pemilu
merupakan bentuk demokrasi yang kita anut selama ini, perlu mempertimbangkan
konsep warga Negara Indonesia khususnya penyandang disabilitas dapat memperoleh
hak memilih melalui format pendataan serta bentuk implementasinya membutuhkan
tenaga dan kerjasama oleh berbagai pihak, sesuai kondisi fisik dan mental
mereka, dalam sejarah presiden Indonesia KH. Abdurahman Wahid adalah salah satu
potret cacat fisik dan penglihatan terganggu dapat disetujui oleh forum DPR RI
saat itu sepakat memilihnya menjadi seorang presiden RI yang ke empat, sehingga
argument pembahasan tentang pemilu bagi penyandang disabilitas sangat mungkin
dapat dilaksanakan, jika ada political wil dari pemerintah dan pihak anggota
legislative dan persetujuan lembaga Negara yang terkait dalam draf akses pemilu
bagi penyandang disabilitas,
3. Pemilu bagi
penyandang disabilitas adalah langkah maju bagi Indonesia dalamBerdemokrasi
dengan menghilangkan sekat diskriminasi, bahwa hak azasi manusia didunia ini
perlu diberi jalan, sebab mereka tidak menginginkan lahir dalam keadaan cacat
atau kurang sempurna secara fisik,dan mental, selama ini perlakuan tidak wajar
masih sering terjadi pada penyandang disabilitas baik oleh keluarganya maupun
pandangan miring masyarakat terhadap disabilitas, sehingga sebenarnya tak ada
yang perlu kita salahkan, dari sisi Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah Swt, jelas
keberadaan mereka didunia ini merupakan ketetapan Tuhan dan Allah Swt , Saran
penulis dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:: 1. Bagi pihak pemerintah
rancangan UU tentang akses pemilu bagi disabilitas yang telah dibahas oleh DPR RI komisi III, agar supaya segera
mengesahkan UU tersebut, selanjutnya oleh pihak pemerintah dalam aspek pelaksanaan
melalui peraturan pemerintah agar tahun 2019, UU tersebut telah efektif
dilaksanakan oleh KPU pusat dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.2. Bagi pihak
DPR RI Komisi III supaya dapat berkonsultasi dengan pemerintah (Presiden RI)
tentang pengesahan UU penyandang disabilitas yang telah diajukan oleh pihak DPR
RI komisi III. 3. Bagi Mahkamah Konstitusi RI, dapat meninjau kembali hal-hal
yang dianggap perlu diperbaiki atau pasal pemilu bagi penyandang disabilitas
tersebut, dan public dapat memberi dukungan positif tentang implementasi revisi
UU atau peraturan pemerintah, kementrian sosial RI dapat memberi kontribusi
terhadap bantuan dari segi matrial maupun in matrial terkait pemilu bagi
penyandang disabilitas.
Kendari, Maret 2017
Penulis
Marwan
Catatan: Tulisan tersebut diatas oleh Tim redaksi dapat sortir,
mengurangi konten tulisan jika terlalu panjang (tak termuat dalam ruang opini)
HP. Penulis: 0852 3877 7390